Apa yang paling sering anda baca di Blog ini?

Cari Blog Ini

Minggu, 23 Oktober 2011

Halaqoh....

Seputar Halaqah


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ9xJ-hhCt0kOXOfJ4i3n95nc_pmoqsZZ9t6RKEH8Zt6TQbzioH4paUXsL9nNGdeVKj239S-HuBYo_5L0N_sCMCaxV4Quzr41a7CWrTnMQHzcoi0qtt_9TRfBrreuBwKEl1c_O7rkQmF4/s200/halaqoh.jpg

Bagaimana agar halaqah dapat berjalan secara dinamis dan meningkat produktivitasnya serta tidak terjebak dalam kejemuan? Sebab suasana jemu dapat berdampak pada antusiasnya peserta dan murabbi untuk mengikuti halaqah. Inilah beberapa kiat yang dapat diterapkan sesuai kondisi dan situsi halaqah agar dapat mewujudkan halaqah yang muntijah (sukes).

I . Urgensi Halaqoh

Halaqah adalah sebagai wadah pengkaderan. Urgensi halaqah adalah:

1. Melaksanakan perintah Allah SWT untuk belajar seumur hidup.
2. Mengikuti sunnah Rasul dalam membina para sahabat dengan metode halaqoh.
3. Sarana efektif untuk mengembangkan kepribadian Islam.
4. Melatih amal jama?i dalam mempertahankan eksistensi jama?ah Islamiyah.
5. Jalan untuk membentuk ummat (takwinul ummah) yang Islami.

II. Halaqah Muntijah (sukses)

Musthafa Masyhur, pernah berkata: "eksistensi halaqah (tarbiyah islamiyah) tak boleh berakhir, walau daulah islamiyah telah berhasil ditegakkan.."

Bebagai Tipe Halaqoh :

1. Halaqoh sukses (muntijah)
Yaitu halaqoh yang dinamisasinya dan produktifitasnya tinggi.

2. Halaqoh paguyuban
Yaitu halaqoh yang dinamisasinya tinggi tapi produktifitasnya rendah.
Contohnya, Halaqoh yang kebanyakan isinya berupa games, rujak party, jalan-jalan, dll.

3. Halaqoh jenuh
Yaitu halaqoh yang produktifitasnya tinggi tapi dinamisasinya rendah.
Contohnya, Halaqoh yang sering ada penugasan namun jarang ada variasi dalam halaqohnya.

4. Halaqoh sedang
Yaitu halaqoh yang dinamisasi dan prodkutifitasnya sedang.

5. Halaqoh tipe rendah
Yaitu halaqoh yang dinamisasi dan produktifitasnya rendah.

Dinamisasi adalah jalannya halaqoh berlangsung dengan menggairahkan dan tidak menjemukan. Produktifitas adalah tujuan halaqoh tercapai.

Murobbi memiliki peran yang sangat penting supaya halaqoh menjadi muntijah. Hal ini karena murobbi yang memimpin halaqoh, sekaligus yang memotivasi, mengarahkan, membimbing, dan mengendalikan halaqoh.
Sistem Halaqah adalah input (paham manhaj, murabbi handal, mutarabbi potensial), proses yang dinamis, output yang produktif, dan akhirnya outcome mampu beramal jama?i dan pribadi yang islami.

Sebab Kurang Seriusnya Murobbi melakukan dinamisasi dan produktivitas halaqah:

1. Terjebak dengan rutinitas.
2. Sibuk dengan da?wah ?ammah yang lebih tenar dan ramai.
3. Sibuk dengan urusan dunia.
4. Terpesona dengan jumlah.
5. Merasa bahwa halaqohnya tidak ada masalah.
6. Kurangnya motivasi dan pengingatan dari ikhwah di sekelilingnya.
7. Terlena dengan cara yang digunakan pada masa lalu (conventional method).

III. Halaqah Dinamis

Manfaat Halaqoh yang Dinamis:

1. Kehadiran peserta yang rutin. (QS. Al Kahfi : 28)
2. Semangat yang tinggi. (QS. Al Anfal : 65)
3. Tanggung jawab yang besar.
4. Mempercepat pencapaian tujuan. (QS. Faathir : 32)
5. Meningkatkan kreativitas. (QS. Al Ankabut : 69)
6. Menghindari kemaksiatan. (QS. Al Hadiid : 16)
7. Memperkecil konflik atau masalah. (QS. Al Hujuurat : 10)
8. Mempererat ukhuwah. (QS. Al Anfal : 63)
Sebab2 Sebab Munculnya Kejenuhan dalam Halaqah:

1. Suasana yang monoton.
2. Tiada keteladanan.
3. Kurangnya upaya untuk saling mengingatkan.
4. Konflik yang berkepanjangan dan tidak segera diselesaikan.
5. Kurangnya keikhlasan.
6. Perbuatan maksiat.
7. Kurangnya pemahaman.

Tahapan Kejenuhan:

1. Monoton.
2. Tidak memberi nilai tambah pada dirinya (eliminasi makna)
3. Menghindar dari kehadiran.
4. Tidak nyaman.
5. Apatis atau tidak peduli.
Dampak Kejenuhan:

A. Bagi Peserta: (7K)

1. Kehadiran yang tidak rutin.
2. Kedisplinan yang menurun.
3. Keterlibatan yang minim.
4. Ketidakpuasan yang meningkat.
5. Kemaksiatan yang muncul.
6. Konflik / masalah yang bertambah.
7. Keterlambatan pencapaian tujuan.

B. Bagi Murobbi

1. Malas melakukan persiapan.
2. Penyampaian yang kurang berisi.
3. Lupa pada tujuan.
Ciri-Ciri halaqoh yang Dinamis:

1. Suasana yang dinamis dan inovatif.
2. Komentar-komentar kerinduan pada pertemuan berikutnya.
3. Ingin berlama-lama.
4. Kehadiran yang rutin.
IV. Halaqah Produktif

Tujuan usroh (halaqah) adalah menyiapkan orang-orang pilihan untuk memikul tanggung jawab yang amat besar? (Dr. Ali Abdul Halim Mahmud)

Pencapaian produktivitas harus diiringi pencapaian dinamisasi. Keduanya sama penting bagi kelompok dan individu. Sebagaimana tercantum dalam QS. Ali Imran : 102 (produktivitas) dan QS. Ali Imran: 103 (dinamisasi).

Produktivitas adalah banyaknya hasil (tujuan) yang ingin dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Produktivitas dapat dilihat dari dua sisi: kuantitas dan kualitas.
Tujuan (sasaran) halaqah adalah:

1. Tercapainya Muwashofat/kenaikan jenjang
2. Tercapainya pembentukan murabbi
3. Tercapainya pengembangan potensi

Dr. Abdullah Qadiri berkata, "Sesungguhnya seorang ikhwan yang benar tidak bisa tidak kecuali dia harus menjadi murabbi"

Kaidah fiqih mengatakan: "Jika untuk mewujudkan sesuatu yang wajib dibutuhkan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib". Dan takwinul ummah adalah wajib, karena itu cara mewujudkannya juga wajib. (QS. Ali Imran : 79).

Manfaat Halaqah yang produktif:

1. Akselerasi peningkatan kualitas jamaah atau ummat.
2. Umat akan memiliki para pelopor yang tangguh untuk membawa umat keluar dari keterpurukannya.
3. Masa depan Islam akan cerah karena umat telah memiliki kader-kader yang produktif dan ?haus? akan kemajuan menuju ridho Allah SWT.
Sebab-sebab tidak produktivitasnya halaqah:

INTERNAL

1. Tidak memahami tujuan
2. Terlena dengan proses
3. Kurangnya semangat bersaing (QS. Al Baqarah: 148)
4. Percaya dengan ?takdir? yang salah.

EKSTERNAL

1. Kurangnya motivasi
2. Kurangnya penjelasan tujuan

Tahap-tahap Tidak Produktifnya Halaqah

1. Tidak jelasnya tujuan
2. Terjebak dengan tujuan ?palsu?
3. Disorientasi
4. Stagnan

Peran Murabbi dalam meningkatkan produktivitas halaqah:

1. Sebagai motivator
2. Sebagai koordinator
3. Sebagai evaluator
V. Keseimbangan Dinamisasi dan Produktivitas Halaqah

Bahaya Hanya Berorientasi pada Dinamisasi:

1. Lambat mencapai tujuan
2. Mengabaikan prioritas
3. Keberhasilan semu
4. Fanatisme/figuritas

Bahaya Hanya Berorientasi Pada Produktivitas:

1. Kejenuhan yang Kronis
2. Hilangnya antusiasme
3. Kehadiran yang tidak rutin
4. Keringnya iman dan lemahnya kontrol diri
5. Tumpulnya kreativitas
6. Lemahnya ikatan ukhuwah
7. Kalah bersaing
8. Prestasi yang tidak maksimal

VI. Rumus Meningkatkan Dinamisasi Halaqah

1. Rumus Dinamisasi Halaqah:

D = n(Pb) ( I + K + T )
Keterangan:

D = Dinamisasi

n(Pb) = Jumlah variasi perubahan
I = Keikhlasan
K = Keteladanan
T = Semangat mencapai Tujuan

2. Rumus Produktivitas Halaqah (dalam segitiga)

- Evaluasi
- Kemenangan kecil
- Tujuan

Formula Terjadinya Kejenuhan dalam Halaqah/Usroh:

J = n(Pt)/n(Pb) - ( I + K + T )
Keterangan:
J = Kejenuhan
n(Pt) = Jumlah Pertemuan
n(Pb) = Jumlah Variasi Perubahan
I = Keikhlasan
K = Keteladanan
T = Semangat mencapai Tujuan

Variasi perubahan tersebut dapat terjadi dalam :

1. Sistem belajar
2. Metode penyampaian
3. Media/alat belajar
4. Materi/madah
5. Agenda Acara
6. Waktu pertemuan
7. Tempat pertemuan
8. Komposisi peserta

Kiat meningkatkan nilai n(Pb) adalah dengan kreativitas dalam sistem belajar, metode penyampaian, agenda acara, alat belajar, dll. Agar kreativitas menjadi kultur baru, maka Murabbi perlu melakukan :

1. Memberi motivasi terus menerus kepada peserta untuk meningkatkan kreativitas.
2. Melakukan kegiatan dalam halaqah yang dapat menambah keakraban dan keterbukaan.
3. Membuat suasana halaqah yang santai dan menyenangkan, tapi serius agar peserta berani menyampaikan ide-idenya.
4. Menghargai prakarsa dan kritik peserta serta tidak melulu melakukan kecaman atau celaan terhadap pendapat-pendapat mereka. 

Tarbiyah....

Mencari Semangat


 Menapaki jalan dakwah tak selamanya mulus. Ada kalanya pemahaman sudah kuat tapi penerapan masihlemah. Ada seorang Al-Akh yang mengeluh betapa susahnya berbisnis dengan sesama ikhwah. Yang leletlah, tidak profesional, tidak sungguh-sungguh, prosedur yang bertele-tele dan kurang amanah. Padahal yang diajak bisnis ini aktivis dakwah yang produktif berdakwah.


 http://nurrohmad.files.wordpress.com/2010/10/semangat1.jpg?w=300&h=281
Suatu ketika pula berjumpa dengan akhwat yang mengeluhkan suaminya. Bukan tidak bersyukur, tetapi ingin mencari solusi. Suaminya adalah dai, sosok yang diidamkan semasa gadis dulu. Sepak terjangnya di medan dakwah mencatat tinta emas. Namun ketika sudah berumah tangga, tampaklah kebiasaan yang sesungguhnya: susah bangun malam, tilawah sehari nggak sampai satu juz, hafalan banyak yang hilang, kurang perhatian dengan urusan rumah, dan sebagainya dan sebagainya.

Lain kali pula bertemu dengan ikhwah yang lesu berangkat liqo. Halaqah sudah semakin kering. Magnetnya semakin mengendur. Maka jadilah forum bunderan itu majelis setor muka. Tiada makna, tiada kesan.
Dalam kondisi seperti ini, waspadalah, bahwa ini adalah alarm. Inilah lampu merah yang berkelip berputar-putar dan berbunyi memekakkan telinga, mengingatkan kepada kita bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup. Sesuatu itu adalah semangat.

Semangat ibarat motor dalam sebuah mesin. Dia yang menggerakkan komponen lainnya untuk berbuat. Tidak sedikit kendala dihadapi, akan tetapi berhasil dilalui karena adanya semangat yang berkobar-kobar. Banyak permasalahan menghinggapi namun sukses diatasi karena semangat yang menyala-nyala. Pun juga potensi diri melejit karena ada semangat untuk introspeksi.

Namun, ketika semangat ini melemah, akan ada banyak hal yang tak terselesaikan. Parahnya lagi, jika lemah semangat ini menular kepada yang lainnya. Tidak hanya kebaikan yang bisa menyebar, keburukan juga bisa menular dengan cepat. Dalam kondisi seperti ini bertindak cepatlah, apalagi jika yang melemah itu adalah semangat beribadah dan berdakwah di jalan Allah.

Pertama, mintalah semangat itu kembali kepada Allah SWT

Hidup dan mati kita di tangan Allah. Di antara keduanya pun dalam genggaman kekuasaan Allah SWT. Rasa kecewa, menyesal, putus asa adalah hal biasa dalam hidup. Ketika suami kita tidak seperti yang kita harapkan semasa gadis dulu, terimalah dengan besar hati karena kita pun belum tentu memenuhi sosok istri idamannya. Kekecewaan dan rasa kesal hanya akan memberatkan langkah menapaki biduk rumah tangga.

Pun ketika kita berpartner dengan ikhwah yang sensitivitasnya rendah, terima saja sebagai ladang kesabaran. Dengan kesabaran itu insya Allah akan membuka jalan bagi kemudahan dan keberkahan. Mintalah langsung kepada Allah SWT agar kerlip cahaya semangat itu senantiasa menyala dan menjadi energi bagi setiap aktivitas kita. Mintalah dengan semakin mendekat kepadaNya. Setelah itu, carilah semangat itu di tempatnya berada. Carilah semangat itu dalam dirimu sendiri. Apakah ia hadir dalam aktivitas kesukaan kita, atau dalam renungan panjang malam-malam kita, atau dalam memori masa lalu yang mampu menghidupkan kembali nyala semangat dalam diri.

Kedua, berkaca pada sekeliling

Bisa jadi melemahnya semangat kita karena ruang edar kita itu-itu saja. Sedikitnya amal dan banyaknya angan-angan bukan tidak mungkin menjadi sumber melemahnya semangat. Oleh karenanya, luaskan ruang edar kita dengan berkaca pada sekeliling. Pada seorang kawan sederhana yang tak banyak mengeluh namun banyak beramal. Pada alam raya yang tak pernah protes dengan semua ketentuanNya namun konsisten dengan tugasnya. Dan luangkan waktu untuk semakin akrab dan penuh perhatian pada mutarabbi-mutarabbi kita. Sosok yang baru mengenal dunia dakwah, penuh dengan semangat dan optimisme. Ketika kelelahan semangat ini menggayuti diri kita, temuilah para mutarabbi ini dan dapatkan kesan mendalam dari mereka.

Kepercayaan yang tinggi pada Murabbinya, idealisme dan kesungguh-sungguhan untuk berubah menjadi lebih baik dan tentu saja kepolosan jiwa mereka. Bergaullah dengan mereka yang mengingatkan betapa enerjiknya kita dulu saat awal-awal mengenal dakwah. Insya Allah semangat itu akan hadir kembali.

Ketiga, jangan menikmati kefuturan

Kelemahan itu jangan dibiarkan. Mual-mula hanya kemalasan kecil, tanpa terasa menjadi batu penghalang kita untuk bergerak. Setiap orang punya masalah. Setiap makhluk mendapat ujian dari Allah SWT untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya. Setiap dari kita punya keinginan dan tidak semuanya terpenuhi. So, anggap biasalah permasalahan dalam hidup. Jangan nikmati kekecewaan yang membuat kita futur.

Kefuturan tidak membuat kita menjadi lebih baik, apalagi membuat bahagia. Segeralah bangkit dan kejar ketertinggalan. Semangat itu jangan dibiarkan pergi.

Semangat dalam diri perlu dipupuk dan ditumbuhsuburkan. Jika ia sehat, maka auranya akan menyebar kemana-mana. Jadi jangan tularkan futurmu, tapi jangkitilah sekelilingmu dengan semangat yang tumbuh dalam dirimu. Hidup terlalu indah untuk dibiarkan berlalu tanpa makna. Dakwah terlalu berharga untuk diisi dengan rasa kecewa. Surga terlalu jauh jika hanya diangankan. Marilah bangkit dan raih surga kita dengan penuh semangat.

Hak Dan Kewajiban Suami Dan Isteri

Hak Dan Kewajiban Suami Dan Isteri

http://niaayuni.files.wordpress.com/2011/01/muslimah-kartun-7.jpg

Kemungknan sebagaian besar kita menganggap remeh masalah Hak Dan Kewajiban Suami Dan Isteri dalam Islam,mungkin hal itu yg menyebabkan terjadinya tingginya tingkat perceraian dalam berumah tangga,karena kita sebagai suami atau isteri tidak mengamalkannya,atau mungkin sudah tahu tetapi hanya sepihak saja maka  yg terjadi adalah ketimpagan dalam berumah tangga.

Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad semoga bermanfaat bagi calon pasangan sumi isteri atau bagi yg sudah berumah tangga.

Hak Bersama Suami Istri

- Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)

- Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)

- Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)

- Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)


Adab Suami Kepada Istri .

- Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)

- Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)

- Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)

- Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)

- Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan:
(a) Memberi nasehat,

(b) Pisah kamar,

(c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
(An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.

- Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

- Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)

- Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)

- Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)

- Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)

- Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)

- Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).

- Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)

- Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)

- Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)

- Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)

- Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)

- Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Isteri Kepada Suami

- Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)

- Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)

- Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)

- Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:

a. Menyerahkan dirinya,

b. Mentaati suami,

c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,

d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami

e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

- Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)

- Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)

- Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)

- Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)

- Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi  saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)

- Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)

- Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)

- Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)

- Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)

- Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

- Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Isteri Sholehah

- Apabila’ seorang istri, menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramddhan, memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya Allah swt. akan memasukkannya ke dalam surga. (Ibnu Hibban)

- Istri sholehah itu lebih sering berada di dalam rumahnya, dan sangat jarang ke luar rumah. (Al-Ahzab : 33)

- Istri sebaiknya melaksanakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Sehingga terjaga dari fitnah. Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid, dan shalatnya wanita di kamarnya lebih utama daripada shalat di dalam rumahnya. (lbnu Hibban)

- Hendaknya menjadikan istri-istri Rasulullah saw. sebagai tauladan utama.

Maafkan Aku Suamiku Tercinta....

Maafkan Aku Suamiku Tercinta....

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgScaq60BPNVaBN6vuHvzdFlmAeu6m2r7VxfALsaQzYQ_nlahiAJDz0EAQegek4g3iJI14JbxAfue5il_Dz5IJbfBFxRb6GtpHppNSZyEXjn9k02Yj76j6WIz5ENuPRSdGbReY9n1YRsj7U/s1600/sakinah.jpg 
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.




Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. 

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Jumat, 07 Oktober 2011

Kehidupan Suami Istri Bukan Sekedar 1+1=2


Kehidupan Suami Istri Bukan Sekedar 1+1=2

Senin, 03/10/2011 12:57 WIB | Arsip | Cetak

Oleh Novita Aryani M.Noer, ibu rumah tangga tinggal di Bogor
Untaian cinta dan kasih sayang antara suami-istri adalah untaian cinta dan kasih yang didasarkan atas prinsip persahabatan yang saling mengerti, memahami, saling mendukung dan penuh keakraban. Bukan sebaliknya yaitu kedekatan formalistik yang kering dari untaian cinta kasih sayang dan empati. Seperti inilah apa yang selalu kita dengar dan baca bagaimana indahnya merajut kehidupan suami-istri yang aman dan penuh ketentraman dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Namun kita saksikan pada saat sekarang ini, umat Islam hidup dalam masa yang paling hitam. Kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri dimana kita hidup telah menimbulkan ketimpangan dan kesulitan yang memasung tiada henti hingga melilit keluarga-keluarga Muslim.
Ragam ujian akhirnya kian menderas menimpa kehidupan suami-istri. Selisih pendapat dalam memilih dimana akan menetap, berinteraksi terhadap orang tua suami (mertua), atau hubungan antara wanita (istri) dengan kedua orang tuanya, atau berkunjung ke kerabat suaminya. Selisih pendapat antara suami isteri terus berlangsung bahwa ini adalah haknya atau ini adalah hak pasangannya, dan yang itu adalah kewajibannya atau kewajiban pasangannya. Masing-masing dari keduanya berpegang dengan pandangannya dengan dugaan bahwa itu adalah hak menurut hukum-hukum syara’ yang tidak boleh suami dan atau istri tinggalkan.
Kehidupan Suami Istri Bukanlah Angka-Angka Mati 1 + 1 = 2
Kehidupan rumah tangga antara suami-istri merupakan wadah kehidupan cinta dan kasih sayang, ketenteraman dan ketenangan. Untuk mengetahui bagaimana menjadikan kehidupan suami istri sebagai kehidupan cinta dan kasih sayang, ketahuilah Allah Swt. berfirman:

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir," (QS ar-Rum [30]: 21).
Bagi suami Rasulullah Saw. berpesan dalam hadisnya. Dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
"Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku," (HR Tirmidzi dan Ibn Majah).
Kepada para istri Rasulullah Saw. juga mengingatkan dalam sebuah hadisnya. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw., Beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada seseorang yang lain niscaya aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya," (HR Tirmidzi).
Sekali lagi, suami istri harus memahami bahwa hubungan suami istri bukanlah bersifat kaku, seperti hitungan matematika 1 + 1 = 2. Akan tetapi kehidupan suami istri itu adalah ketentraman dan ketenangan, cinta dan saling percaya. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.:
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang," (QS ar-Rum [30]: 21).
Sebagai seorang istri ia wajib mentaati suaminya dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati suaminya, meski harus mengorbankan istirahat atau kesenangannya sendiri. Tidak ada wanita yang ‘waras’ yang mengatakan kepada suaminya, “Saya wajib menaatimu, tetapi tidak ada hubungan bagiku dengan kedua orang tuamu."
Sebab, orang yang waras memahami bahwa kebaikan (ihsan)nya kepada kedua orang tua suaminya adalah pembangkit kebahagiaan bagi suami yang ia diperintahkan untuk memasukkan kebahagiaan itu ke dalam hatinya. Rasulullah Saw. bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
"Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang mukmin setelah ketakwaan kepada Allah kecuali istri yang salehah, jika ia suruh maka istrinya menaatinya, jika ia pandang istrinya menyenangkannya dan jika ia menetapkan bagian untuknya istrinya berbuat baik kepadanya dan jika ia tidak ada di samping istrinya, maka istrinya menasehatinya dalam hal diri dan hartanya," (HR Ibn Majah dari Abu Umamah r.a.).
Abu Dawud juga mengeluarkan hadis dari Ibn Abbas semisal hadis tersebut. Suami harus baik dalam memperlakukan istrinya dan baik dalam bergaul dengannya.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak," (QS an-Nisa [4]: 19).
Memelihara Hubungan Silaturahim dengan Orang Tua dan Kerabat
Suami harus memberikan apa yang menjadi hak istrinya berupa pergaulan yang baik. Dan pada saat yang sama ia memberikan hak kedua orang tuanya yang telah diwajibkan kepadanya dan telah ditetapkan Allah menjadi hak kedua orang tuanya, tanpa melalaikan kebaikan dalam bergaul dengan istrinya dan dalam hal kewajiban kedua orangtuanya. Allah Swt. berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya," (QS al-Isra’ [17]: 23).
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
"Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknyam," (QS al-‘Ankabut [29]: 8.).
Ibn Mas’ud r.a. berkata:
«سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku bertanya kepada Rasulullah Saw., aku katakan: amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah” (HR al-Bukhari).
Tidak ada seorang pun laki-laki ‘waras’ yang melarang istrinya memelihara hubungan dengan kedua orang tuanya dan kerabatnya, memuliakan keluarganya, dan melanggengkan hubungan dengan mereka dengan baik.
Dan dalam hal itu terdapat penguatan bagi cairnya pergaulan dan kelanggengan kebaikan pergaulan suami istri. Allah Swt. telah mengaitkan penyatuan melalui nasab dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi manusia agar mereka merenungkannya. Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً…
"Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu," (QS al-Furqan [25]: 45).
Sampai firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا * وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa," (QS al-Furqan [25]: 53-54).
Dikaitkannya nasab dan peleburan dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan Allah maka disitu terdapat dalalah (konotasi) bahwa bagi masing-masing dari keduanya harus ada respect dan penghormatan, dan bahwa masing-masing dari keduanya merupakan obyek perenungan dan kontemplasi dalam hal keagungan dan kekuasaan al-Khaliq.
Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Abu Ayub al-Anshari menuturkan, ”Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw., ”Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah menjawab:
”Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi,” (HR al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan menggantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarinah jazim (indikasi yang tegas). Oleh karenanya, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram.
Suami haram melarang istrinya bersilaturahim kepada kedua orang tuanya. Sebab silaturahim kepada kedua orang tua adalah wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan, bukan hanya wajib bagi laki-laki saja. Sebab seruan itu bersifat umum untuk laki-laki maupun perempuan. Rasul Saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (silaturrahim)," (HR Muslim dari jalur Jubair binMuth’im).
Qâthi’ rahimin nakirah dalam konteks penafian “lâ yadkhulu” maka itu merupakan lafazh umum. Artinya mencakup laki-laki dan perempuan. Atas dasar itu maka sebagaimana shilaturrahim seorang laki-laki kepada kedua orang tuanya adalah wajib, maka demikian pula silaturahim seorang wanita kepada kedua orang tuanya juga adalah wajib. Karena itu, jika suami melarang istrinya melakukan silaturrahim dengan kedua orang tuanya, maka dia berdosa.
Jadi suami harus mempermudah hubungan antara wanita (isteri) dengan kedua orang tuanya, dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan perhatian istri terhadap suami dan rumahnya. Dan hal itu adalah perkara mudah bagi para suami yang berakal ’waras’, bertakwa lagi bersih.
Dalam memenuhi ketentuan hukum silaturahmi tersebut, hendaklah dikatahui batasan siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin. Ibn Hajar al-’Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, ”Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram.
Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, kerabat (al-arham) terdiri dari dua kelompok. Pertama adalah orang-orang yang mungkin mewarisi harta peninggalan seseorang. Mereka terdiri dari orang yang telah ditentukan bagiannya oleh syariat (ashab al-furudh) dan orang yang berhak mendapat sisa bagian harta (’ashabah).
Kedua adalah mereka yang termasuk ulu al-arham, yang terdiri dari sepuluh orang (bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek dari ibu, putra anak perempuan, putra dari saudara perempuan, putri dari saudara laki-laki, putri dari paman dari pihak ayah dan ibu, paman dari ibu, putra saudara laki-laki seibu, dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka).
Hubungan selain mereka tidak dapat dikatakan sebagai silaturahmi, tersebab tidak terpenuhinya adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan sesama Muslim selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-ukhuwah), bukan silaturahmi.
Berkenaan dengan Masalah al-Hamwu
Begitu pula hendaknya wanita (istri) mengetahui batasan dalam masalah al-hamwu dan bahwa itu adalah kematian sebagaimana dinyatakan di dalam hadis Rasul Saw. yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhilah oleh kalian masuk menemui wanita”, lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata: “ya Rasululah bagaimana pandangan Anda tentang al-Hamwu?” Rasul menjawab: “al-hamwu adalah kematian”
Ini jika wanita itu tidak disertai suami atau mahram. Tidak lain itu adalah khalwat bersama al-hamwu.
Al-hamwu adalah kerabat suami yang bukan merupakan mahram istri yaitu saudara laki-laki dan sepupu laki-laki suami. Sedangkan bapaknya suami (mertua laki-laki), meski secara bahasa termasuk al-hamwu akan tetapi ia tidak termasuk di dalam hadits tersebut, sebab ia termasuk mahram bagi istri.
Dan masuknya al-hamwu menemui wanita dalam bentuk khalwat adalah laksana maut yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, merupakan ungkapan superlatif tentang keharamannya.
Adapun bila disertai adanya suami atau mahram bagi wanita, maka (masuk menemui wanita itu) tidak ada masalah dalam hal yang diperbolehkan oleh syara’ seperti silaturahim, dan pertemuan untuk makan bersama. Yang dilarang adalah khalwat. Ibn Hajar mengatakan di dalam Fath al-Bârî ketika menjelaskan hadits tersebut:
“Perkataan orang itu (bagaimana pandangan Anda tentang al-hamwu), Ibn Wahbin menambahkan di dalam riwayatnya menurut imam Muslim “Aku mendengar al-Laits mengatakan al-Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang mirip seperti itu diantara kerabat suami yaitu sepupunya dan semisalnya.
Dan di dalam sunan at-Tirmidzi setelah mentakhrij hadits tersebut, at-Tirmidzi berkata: dikatakan bahwa al-hamwu itu adalah saudara laki-laki suami … Ia berkata: “Makna hadits seperti yang diriwayatkan adalah tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiga adalah setan.”
Yang mirip seperti ini adalah hadis al-mughîbât yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Jabir dari Nabi Saw., Beliau bersabda:
لَا تَلِجُوا عَلَى الْمُغِيبَاتِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ مَجْرَى الدَّمِ
Janganlah kalian menemui al-mughîbât karena setan itu berjalan di dalam diri salah seorang dari kalian melalui aliran darah
Al-mughîbah adalah wanita yang suaminya sedang tidak ada. Al-mughîbât adalah bentuk plural dari al-mughîbah.
Jadi masalah al-hamwu dan larangan menemuinya adalah ketika itu dalam bentuk khalwat yaitu tidak ada suami atau mahram bersama wanita itu. Begitu pula masuk menemui wanita yang suaminya sedang tidak ada. Jadi masalahnya adalah tentag khalwat.
Adapun dengan adanya suami atau mahram, maka wanita boleh saja mengunjungi kerabat suaminya. Penguatan hubungan antara seseorang dengan keluarga istrinya dan hubungan antara wanita dengan keluarga suaminya semua itu adalah boleh selama berlangsung sesuai hukum-hukum syara’.
Bersama Realisasikan Kehidupan yang Mulia
Sebagai suami, senantiasa membawa dirinya dan keluarganya untuk beribadah kepada Allah dan shalat. Dan janganlah hanya concern dengan masalah rezki dan penghidupan. Kami yang memberi rezki kepadamu dan Kami tidak minta kamu untuk memberi rezeki kepada diri kamu sendiri dan keluargamu.
Maka konsentrasilah atas ketaatan kepada Allah dan perintahkan keluargamu dengan itu. Dan ketahuilah bahwa kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Imam Malik meriwayatkan di al-Muwatha’ dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, bahwa Umar ibn al-Khaththab shalat malam, masya Allah, hingga jika di akhir malam Umar membangunkan keluarganya untuk melaksanakan shalat, Umar berkata kepada mereka: “Shalat, shalat, kemudian Umar membaca ayat ini:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa," (QS Thaha [20]: 132).
Allah Swt. telah menyebutkan di dalam ayat ini “wa [i]shthabir ‘alayhâ –bersabarlah kamu dalam mengerjakannya-“. Ungkapan ini memiliki konotasi lebih dari ungkapan “ishbir ‘alayhâ” karena tambahan dalam hal “susunan huruf” menunjukkan tambahan dalam hal makna.
Ini artinya adalah serius dan penuh kesungguhan dalam masalah tersebut dan kesabaran luar biasa terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam memperbaiki keluarganya dan dirinya dengan menjauhkan dari neraka dan dengan amal apa saja yang mendekatkan kepada perbaikan keluarga itu. Dan Allah menolong orang-orang yang saleh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan," (QS at-Tahrim [66]: 6).
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yaitu jauhkan dirimu dan keluargamu “istri-istrimu dan anak-anakmu …” dari neraka dengan taat kepada Allah Swt., engkau suruh kepada yang makruf dan engkau larang dari yang mungkar, engkau pelajari hukum-hukum agama kalian dan engkau ajarkan kepada keluargamu, engkau perbaiki dan engkau didik mereka serta engkau ajarkan mereka adab sesuai hukum-hukum syara’, jadi engkau suruh mereka melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan seluruh hukum-hukum-Nya.
Namun kini saat aturan-aturan Allah Swt. telah banyak diabaikan, keluarga Muslim sejati tidak akan pernah rida menyaksikan hal tersebut terus berlangsung.
Kesadaran posisinya sebagai bagian dari muslim yang lain dan bertanggung jawab bersama dalam menegakkan aturan Allah dalam setiap urusan, mendorong setiap keluarga Muslim untuk tidak berfikiran egois (ananiyah) yaitu hanya berjuang menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya.
Atas dasar iman bersama masyarakat dan negara wajib berupaya serius untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah yang akan senantiasa menjaga kebahagian suami-istri dalam wadah cinta dan kasih sayang. Insyaallah…
Wallahu a’lam bi al-shawab

Mukena - Realitas Muslimah Dalam Keseharian


Rabu, 16/03/2011 11:04 WIB | Arsip | Cetak

Semua wanita di Indonesia punya mukena, asalkan dia beragama Islam pasti punya mukena dan rasanya tidak sah sholat dan tidak enak bila tidak pakai mukena. Kalau mendengar kata mukena, orang lantas mencandai denagn kata kata: mukena mukaga (maksudnya mau kena kek mau kagak-tidak), tidak nyambung dengan makna mukena yang sebetulnya namun istilah canda seperti itu sering dilakukan orang.
Mukena, sebuah kata yang sampai saat ini kita tidak tahu darimana asalnya, kalau bahasa melayunya orang sebut telekung. Mukena hanya ada dan dipakai di Indonesia dan di Malaysia saja, kalau muslimah dari negara lain bila sholat, mereka menggunakan baju yang rapih, panjang dan tidak berbentuk, seperti jubah atau gamis panjang, yang terlihat hanya muka dan telapak tangan saja.
Dugaanku, orang Indonesia dan Malaysia menggunakan mukena karena zaman dulu belum ada orang yang pakai jilbab sehingga ketika perintah sholat dimengerti oleh muslimah Indonesia, maka konotasi salah satu syarat sahnya sholat bagi wanita adalah menggunakan pakaian yang menutupi aurat dan hanya terlihat wajah dan telapak tangan saja. Hal itulah makanya banyak wanita Indonesia yang hanya pakai mukena untuk menutupi aurat ketika sholat saja namun ketika tidak sholat, kembali pada celana panjang ketat dan baju kaos yang membentuk tubuh dengan rambut yang tergerai. Jadi hanya ketika sholat saja mereka menggunakan pakaian yang menutup aurat dan hanya memperlihatkan muka dan telapak tangan sampai selesai sholat saja, setelah selesai sholat maka selesai juga menututup auratnya.
Seharusnya bagi wanita muslimah yang sudah menggunakan pakaian menutup aurat, tidak lagi memerlukan mukena untuk sholat, tapi karena sudah jadi kebiasaan maka seringkali tetap menggunakan mukena padahal pakaiannya sudah cukup syar’ie untuk sholat. Yang menjadi masalah adalah, mengapa masih menggunakan mukena bila kita sudah berpakaian muslimah dan tidak membentuk tubuh. Seharusnya langsung saja sholat, asalkan tidak menggunakan celana panjang, jilbab pendek dan baju yang berbentuk, maka cukup sah untuk melakukan sholat tanpa mukena.

Yang penting buat saya adalah ketika menghadap Allah haruslah berpakaian yang rapi, cantik dan sopan, tidak harus menggunakan mukena, apalagi bila mukena tersebut kotor, kuning ujungnya, seringkali berbintik-bintik hitam dan maaf bahkan bau keringat karena pencuciannya hanya seminggu sekali dilakukan sehingga sah lah mukena menjadi pakaian sholat yang tdak menarik. Malu deh rasanya menghadap Allah dengan pakaian yang seperti itu dan penampilan yang seperti itu. Kan kalau kita sholat, kita sedang diperhatikan oleh malaikat dan juga diteropong difoto. Coba kita bayangkan pernah gak kita berpose atau berfoto sebagai profil di blackberry, facebook atau foto KTP dengan menggunakan mukena, pasti tidak kan? Karena kalau mau jujur wajah kita menjadi nampak tidak cantik dan kurang menarik kalau menggunakan mukena, so.. bila kita tahu bahwa kita sedang mengadap Allah, Pemimpin yang Maha Agung, mengapa kita tidak gunakan pakaian yang bersih dan sayr’ie, wangi dan cantik agar kita tahu menghargai sang pencipta. Karena kalau mau jujur bila suatu saat kita dipanggil Presiden misalnya, kita tentu saja tidak akan menghadap beliau dengan menggunakan mukena kan. Nampak tak sopan, namun kenapa ketika menghadap Allah kita menggunakan mukena..? apalagi menggunakan mukena yang lusuh dan bau serta kekuning-kuningan dan sedikit basah disekeliling wajah.
Saran saya bila kita bias menggunakan pakaian yang terindah dan syar’ie, tidak membentuk tubuh, jilbabnya menjulur melebihi dada, tidak sempit, warna tidak mencolok, lalu yang terlihat hanya muka dan telapak tangan saja, mengapa tidak mengahdap Allah, resmi dan formal dengan pakaian yang paling indah dan paling cantik. Wallahualam.
Dalam riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah SAW berpaling darinya dan berkata : "Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan." (HR. Abu Daud dan Baihaqi)

Ketika Lelaki Lebih "Dahulukan" Daripada Wanita


Ketika Lelaki Lebih "Dahulukan" Daripada Wanita

Rabu, 17/08/2011 08:58 WIB | Arsip | Cetak

Di masjid al Hidayah itu tak ada tempat buat wanita, Irsyad menjelaskan pada sang Bunda yang ngotot tetep ingin ikut I'tikaf.
“Bunda sholat dan I'tikaf di Rumah saja, Bunda, perempuan itu harus banyak-banyak di Rumah dan ibadah di Rumah, Bunda kan bisa jamaah dengan si Mbok.” Irsyad menjelaskan lagi pada Bunda yang hanya diam termangu.
Dalam hati Irsyad terharu dan bangga dengan semangat Bunda yang menggebu-gebu untuk perbanyak ibadah di bulan Ramadhan. Irsyad ingat dulu Bunda selalu diajak Ayah keliling untuk ibadah, dan melaksanakan sholat Magrib, berbuka dan tarawih keliling dan setiap 10 malam terakhir Ayah dan Bunda juga Irsyad dan ketiga adik lelakinya ikut semua I'tikaf di masjid tebesar di kecamatan makasar.
Irsyad ingat bagaimana Ayah selalu mencarikan dahulu tempat wudhu buat Bunda juga toilet, dipastikan toilet wanita yang biasanya ada paling pojok dan seringkali terkunci, masih layak dipakai oleh Bunda, dan Bunda manut saja, ikut saja, Ayah yang mengerjakan semuanya.
Irsyad juga teringat ketika Umrah, bagaimana susahnya mencarikan tempat sholat buat Bunda, apalagi ketika itu Ramadhan dan suasana sangat berdesakan, batin Irsyad, jamaah kayak cendol uwel-uwelan, namun karena nikmat ibadah sangat luar biasa, sehingga semua itu hilang dari pikiran, namun tetap saja selalu terpikirkan ketika melihat Bunda akhirnya malah hilang tidak tahu ada dimana, karena shaf sholat untuk perempuan sangat sedikit, dan Bunda terhalau oleh askar-askar yang menjaga barisan sholat, dengan teriakan, “Yallah, yaalaa…”sambil mengibas ngibaskan lengan bajunya yang lebar, dan otomatis Bunda dan sebagian jamaah wanita lainnya terusir jauh entah kemana…sampai pusing Irsyad dan Ayah mencari Bunda, dan akhirnya Bunda ditemukan tengah menatap Ka'bah dan berdoa, dan salah satu do'a Bunda adalah agar dipertemukan dengan anak-anak dan Suaminya. Bunda walau nyasar tidak takut dan kata Bunda, asal tetap ada di Masjidil Haram, hati Bunda tenang, cuma kita yang lelaki menjadi tidak tenang.
Memang nampaknya seperti ada diskriminasi di tempat sholat lelaki dengan wanita, sulit untuk mencari tempat sholat buat wanita, dimana-mana penuh, dan sebagian besar untuk lelaki.
Lama merenung, akhirnya Bunda yang menjawab pada Irsyad, “Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, dan Allah menghendaki lelaki memiliki kekuatan dalam beribadah, maka Allah ganjar dengan janji kalau sholat jamaah akan dapat 27 kali lipat, namun sholat jamaah di Masjid diwajibkan bagi para lelaki saja, bahkan sampai ada ancaman dari Rasulullah saw.”
Hadist dari Sahabat Abu Hurairah r.a berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh saya ingin memerintahkan para pemuda untuk mengumpulkan kayu bakar yang banyak, kemudiaan saya akan mendatangi orang-orang yang shalat di rumahnya tanpa udzur dan saya bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi)
Tentu saja dengan keluar rumah dan sholat di Masjid para lelaki akan bertemu dengan sesama lelaki lainnya dan bisa membicarakan, memikirkan bersama dan mendiskusikan berbagai macam masalah dan memutuskan apa-apa yang baik buat umat dan masyarakat. Sedangkan perempuan hanya menunggu berita saja dan mengikuti dengan taat keputusan masyarakat yang diwakili oleh para lelaki, alias taat pada para Suami, apapun keputusan yang mereka buat, apalagi lelaki lebih rasional bukan?
Hal wajib lainnya adalah sholat Jum'at, diwajibkan bagi para lelaki bahkan ditambahkan dengan Khutbah Jumat yang wajib didengar, bila tidak didengarkan, maka tidak sah sholat jumatnya, ditambah lagi dengan ancaman bila 3X tidak jumatan, Ibnu ‘Abbas r.a, “Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at berturut-turut, sungguh dia telah mencampakkan Islam ke belakang punggungnya (kafir).” (HR. Abu Ya’la, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib No. 732)
Tentu saja hal itu sangat baik bagi para lelaki bagi para Suami sebagai pemimpin keluarga, bahwa dengan adanya sholat Jumat wajib bagi para Suami, diharapkan para Suami yang akan membimbing dan memimpin wanita, Istri-istrinya di rumah dan memberikan ilmu-ilmu dan keterangan agama, sehingga wanita mendapatkan ilmu utamanya dari para lelaki Suami nya yang sholat Jumat, maka alangkah baiknya bila Khutbah Jumat didengarkan dengan seksama untuk disampaikan bagi para wanita yang tidak ikut sholat Jum'at.
Irsyad tertegun dengan jawaban Bunda, Bunda memang luar biasa, bagi Bunda sholat tarawih di Masjid maupun I'tikaf memang lebih syahdu dan khusyu bila dilakukan di Masjid, namun bila dilakukan dirumahpun tidak apa-apa Bunda, yang penting hatinya, bukan tempatnya.